Powered By Blogger
Pkl at Jakarta Slideshow: Nidar’s trip from Benteng, Selayar Island, Indonesia to Jakarta was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

Minggu, 04 Juli 2010

ASKEP ANAK IKTERUS (HIPERBILIRUBIN)

PENDAHULUAN
Sewaktu bayi masih berada dalam rahim (masih dalam bentuk janin), maka tugas membuang bilirubin dari darah janin dilakukan oleh plasenta. Hati/liver si janin tidak perlu membuang bilirubin.
Ketika bayi sudah lahir, maka tugas ini langsung diambil alih oleh hati/liver-nya. Karena liver-nya belum terbiasa melakukannya, maka jangan kaget jika ternyata ia memerlukan beberapa minggu untuk penyesuaian.
Selama liver bayi bekerja keras untuk menghilangkan bilirubin dari darahnya, tentu saja jumlah bilirubin yang tersisa akan terus menumpuk di tubuhnya. Karena bilirubin berwarna kuning, maka jika jumlahnya sangat banyak, ia dapat “menodai” kulit dan jaringan-jaringan tubuh lainnya yang dimiliki oleh bayi Anda.
Hiperbilirubinemia merupakan kenaikan tingkat bilirubin pada bayi. Ketika tubuh bayi mengganti sel-sel darah merah dan jaringan tubuh lainnya dengan yang baru, maka hasil pembuangan dari proses ini biasanya akan dihilangkan oleh hati/liver. Bilirubin termasuk salah satu hasil pembuangan tersebut.

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
B. Metabolisme Bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
D. Patofisiologi
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
E. Tanda dan Gejala
 Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek).
 Anemia
 Petekie
 Perbesaran lien dan hepar
 Perdarahan tertutup
 Gangguan nafas
 Gangguan sirkulasi
 Gangguan saraf
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
G. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a) Riwayat penyakit
Kekacauan/ gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi, hematom, memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan diabetes.
b) Pemeriksaan fisik
• Kuning
• Pucat
• Urine pekat
• Letargi
• Penurunan kekuatan otot (hipotonia)
• Penurunan refleks menghisap
• Gatal
• Tremor
• Convulsio (kejang perut)
• Menangis dengan nada tinggi
c) Pemeriksaan psikologis
Efek dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.
d) Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien
Penyebab dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi yang lain yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya kemauan untuk belajar.
B. Diagnosa keperawatan
1) Resiko peningkatan kadar bilirubin dalam darah berhubungan dengan kondisi fisiologis/patologis
Tujuan/Kriteria: Tidak ada peningkatan hiperbilirubinemia
Rencana Tindakan:
 Monitor tanda-tanda vital
 Monitor bilirubin serum
 Monitor bila ada muntah, kaku otot atau tremor
 Kolaborasi terapi dengan tim medis
 Berikan minum ekstra
 Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian fototerapi
2) Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan malas menghisap.
Tujuan/Kriteria: Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Rencana Tindakan:
 Berikan minum melalui sonde (ASI yang diperah atau PASI)
 Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
 Monitor intake dan output
 Monitor berat badan tiap hari
 Observasi turgor dan membran mukosa
3) Resiko perubahan suhu Tubuh berhubungan dengan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria: Suhu tubuh tetap normal
Rencana Tindakan:
 Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
 Perhatikan suhu lingkungan dan gunakan isolasi
 Berikan minum tambahan
4) Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria: Tidak terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan
Rencana Tindakan:
 Kaji efek samping fototerapi
 Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
 Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus cahaya
 Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan mata setiap 8 jam
 Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
 Observasi dan catat penggunaan lampu
5) Resiko terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria: Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit
Rencana Tindakan:
 Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanya
 Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
 Gunakan lotion pada daerah bokong
 Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
 Lakukan alih baring dan pemijatan
6) Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur pemasangan dan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria: Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
Rencana Tindakan:
 Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
 Berikan support mental
 Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi

ASUHAN KEPERAWATAN STRIKTUR URETRA

KONSEP MEDIS
A. PENGERTIAN
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan kontraksi. (C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)
Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra.
(C. Long , Barbara;1996 hal 338)
B. PENYEBAB
Striktur uretra dapat terjadi secara:
Kongenital
Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali saluran kemih yang lain.
Didapat.
 Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi)
 Cedera akibat peregangan
 Cedera akibat kecelakaan
 Uretritis gonorheal yang tidak ditangani
 Infeksi
 Spasmus otot
 Tekanan dari luar misalnya pertumbuhan tumor
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468 dan C. Long , Barbara;1996 hal 338)
C. MANIFESTASI KLINIS
o Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang
o Gejala infeksi
o Retensi urinarius
o Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan pielonefritis
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)
Derajat penyempitan uretra:
o Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.
o Sedang: oklusi 1/3 s.d 1/2 diameter lumen uretra.
o Berat: oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Ada derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 )
D. PENCEGAHAN
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus dilakukan pada setiap jenis alat uretral termasuk kateter.
(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)
E. PENATALAKSANAAN
a. Filiform bougies untuk membuka jalan jika striktur menghambat pemasangan kateter
b. Medika mentosa
 Analgesik non narkotik untuk mengendalikan nyeri.
 Medikasi antimikrobial untuk mencegah infeksi.
c. Pembedahan
 Sistostomi suprapubis
 Businasi ( dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati.
 Uretrotomi interna : memotong jaringan sikatrik uretra dengan pisau otis/sachse. Otis dimasukkan secara blind ke dalam buli–buli jika striktur belum total. Jika lebih berat dengan pisau sachse secara visual.
 Uretritimi eksterna: tondakan operasi terbuka berupa pemotonganjaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra yang masih baik.
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 dan Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria.
 Kultur urin: adanya staphylokokus aureus. Proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
 BUN/kreatin : meningkat
 Uretrografi: adanya penyempitan atau pembuntuan uretra. Untuk mengetahui panjangnya penyempitan uretra dibuat foto iolar (sisto) uretrografi.
 Uroflowmetri : untuk mengetahui derasnya pancaran saat miksi
 Uretroskopi : Untuk mengetahui pembuntuan lumen uretra
(Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 dan Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)

KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
 Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD ( efek pembesaran ginjal)
 Eliminasi
Gejala: penurunan aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekurnsi berkemih
Tanda: adanya masa/sumbatan pada uretra
 Makanan dan cairan
Gejala; anoreksia;mual muntah, penurunan berat badan
 Nyeri/kenyamanan
Nyeri suprapubik
 Keamanan : demam
 Penyuluhan/pembelajaran
(Doenges E. Marilynn, 2000 hal 672)
B. DIAGNOSA,TUJUAN,& INTERVENSI
1. Nyeri b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan : nyeri berkurang/ hilang
Kriteria hasil:
o Melaporkan penurunan nyeri
o Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
o Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang nyeri
o Kaji tanda nonverbal nyeri ( gelisah, kening berkerut, mengatupkan rahang, peningkatan TD)
o Berikan pilihan tindakan rasa nyaman
Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman
Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu bimbingan imajinasi
o Dokumentasikan dan observasi efek dari obat yang diinginkan dan efek sampingnya
o Secara intermiten irigasi kateter uretra/suprapubis sesuaiadvis, gunakan salin normal steril dan spuit steril
Masukkan cairan perlahan-lahan, jangan terlalu kuat.
Lanjutkan irigasi sampai urin jernih tidak ada bekuan.
o Jika tindakan gagal untuk mengurangi nyeri, konsultasikan dengan dokter untuk penggantian dosis atau interval obat.
2. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik
Kriteria hasil:
o kateter tetap paten pada tempatnya
o Bekuan irigasi keluar dari dinding kandung kemih dan tidak menyumbat aliran darah melalui kateter
o Irigasi dikembalikan melalui aliran keluar tanpa retensi
o Haluaran urin melebihi 30 ml/jam
o Berkemih tanpa aliran berlebihan atau bila retensi dihilangkan
Intervensi:
o Kaji uretra dan atau kateter suprapubis terhadap kepatenan
o Kaji warna, karakter dan aliran urin serta adanya bekuan melalui kateter tiap 2 jam
o Catat jumlah irigan dan haluaran urin, kurangi irigan dengan haluaran , laporkan retensi dan haluaran urin <30>
o Beritahu dokter jika terjadi sumbatan komplet pada kateter untuk menghilangkan bekuan
o Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai instruksi
o Gunakan salin normal steril untuk irigasi
o Pertahankan tehnik steril
o Masukkan larutan irigasi melalui lubang yang terkecil dari kateter
o Atur aliran larutan pada 40-60 tetes/menit atau untuk mempertahankan urin jernih
o Kaji dengan sering lubang aliran terhadap kepatenan
o Berikan 2000-2500 ml cairan oral/hari kecuali dikontraindikasikan

3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
o Suhu tubuh pasien dalam batas normal
o Insisi bedah kering, tidak terjadi infeksi
o Berkemih dengan urin jernih tanpa kesulitan
Intervensi:
o Periksa suhu setiap 4 jam dan laporkan jikadiatas 38,5 derajat C
o Perhatikan karakter urin, laporkan bila keruh dan bau busuk
o Kaji luka insisi adanya nyeri, kemerahan, bengkak, adanya kebocoran urin, tiap 4 jam sekali
o Ganti balutan dengan menggunakan tehnik steril
o Pertahankan sistem drainase gravitas tertutup
o Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan
o Pantau dan laporkan jika terjadi kemerahan, bengkak, nyeri atau adanya kebocoran di sekitar kateter suprapubis.

Sabtu, 03 Juli 2010

PENDARAHAN POST PARTUM

A. Pengertian
Post partum / puerperium adalah masa dimana tubuh menyesuaikan, baik fisik maupun psikososial terhadap proses melahirkan. Dimulai segera setelah bersalin sampai tubuh menyesuaikan secara sempurna dan kembali mendekati keadaan sebelum hamil ( 6 minggu ). Masa post partum dibagi dalam tiga tahap : Immediate post partum dalam 24 jam pertama, Early post partum period (minggu pertama) dan Late post partum period ( minggu kedua sampai minggu ke enam)..Potensial bahaya yang sering terjadi adalah pada immediate dan early post partum period sedangkan perubahan secara bertahap kebanyakan terjadi pada late post partum period. Bahaya yang paling sering terjadi itu adalah perdarahan paska persalinan atau HPP (Haemorrhage Post Partum). Menurut Willams & Wilkins (1988) perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada masa post partum yang lebih dari 500 cc segera setelah bayi lahir. Tetapi menentukan jumlah perdarahan pada saat persalinan sulit karena bercampurnya darah dengan air ketuban serta rembesan dikain pada alas tidur. POGI, tahun 2000 mendefinisikan perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada masa post partum yang menyebabkan perubahan tanda vital seperti klien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, dalam pemeriksaan fisik hiperpnea, sistolik < 90 mmHg, nadi > 100 x/menit dan kadar HB < 8 gr %.
B. Klasifikasi perdarahan.
Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan berlebihan ( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan.
Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan.
C. Etiologi
Penyebab perdarahan dibagi dua sesuai dengan jenis perdarahan yaitu :
Penyebab perdarahan paska persalinan dini :
1. Perlukaan jalan lahir : ruptur uteri, robekan serviks, vagina dan perineum, luka episiotomi.
2. Perdarahan pada tempat menempelnya plasenta karena : atonia uteri, retensi plasenta, inversio uteri.
3. Gangguan mekanisme pembekuan darah.
Penyebab perdarahan paska persalinan terlambat biasanya disebabkan oleh sisa plasenta atau bekuan darah, infeksi akibat retensi produk pembuangan dalam uterus sehingga terjadi sub involusi uterus.
D. Faktor predisposisi
Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu persalinan :
1) Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti dengan pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan segera dilakukan penjahitan dengan benar.
2) Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.
3) Jumlah darah sedikit
Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat hamil, pre eklampsia dan eklamsi.
4) Kelainan pembekuan darah
Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu diantisipasi dengan hati-hati dan seksama.
E. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium.
F. Gambaran klinik
Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda Penyulit Diagnosa penyebab
o Uterus tidak berkontraksi dan lembek
o Perdarahan segera setelah bayi lahir
o Syok
o Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar
o Atonia uteri
o Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
o Uterus berkontraksi dan keras
o Plasenta lengkap
o Pucat
o Lemah
o Mengigil
o Robekan jalan lahir
o Plasenta belum lahir setelah 30 menit
o Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
o Tali pusat putus
o Inversio uteri
o Perdarahan lanjutan
o Retensio plasenta
o Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
o Perdarahan segera
o Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
o Tertinggalnya sebagian plasenta
o Uterus tidak teraba
o Lumen vagina terisi massa
o Neurogenik syok, pucat dan limbung
o Inversio uteri
G. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan umum
a) Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d) Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
e) Atasi syok jika terjadi syok
f) Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g) Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
h) Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i) Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j) Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2) Penatalaksanaan khusus
a. Atonia uteri
Kenali dan tegakan kerja atonia uteri Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus. Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir. Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan : Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan. Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium. Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
b. Retensio plasenta dengan separasi parsial
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat. Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal. Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia. Lakukan transfusi darah bila diperlukan. Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
c. Plasenta inkaserata
Tentukan diagnosis kerja. Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul. Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas. Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan speculum. Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas. Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut. Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
d. Ruptur uteri
Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi. Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
 Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi. Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
e. Sisa plasenta
Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis. Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret. Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap. Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal. Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut : Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur. Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler. Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
g. Robekan serviks
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio. Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit. Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan. Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi. Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
2. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III.
4. Riwayat kesehatan : Kelainan darah dan hipertensi
5. Tanda vital :
• Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
• Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
• Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
• Suhu : Normal/ meningkat
6. Kesadaran : Normal / turun.
7. Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi.
8. Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
9. Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis )
10. Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
2. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
3. Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman kematian
4. Resiko infeksi b/d perdarahan
5. Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan.
C. Rencana tindakan keperawatan
 Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
1) Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah keotak dan organ lain.
2) Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3) Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4) Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5) Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
6) Batasi pemeriksaan vagina dan rectum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat hematom. Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.
7) Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravascular
8) Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9) Berikan antibiotic
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
10) Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
 Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2) Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
3) Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam produksi ASI
4) Tindakan kolaborasi :
Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan tanda hipoksia jaringan ). Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi jaringan ).
 Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
 Intervensi :
1) Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2) Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3) Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
4) R/ Memberikan dukungan emosi
5) Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui
6) Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
7) Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.
 Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan
Tujuan : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Intervensi :
1) Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
2) Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan nyeri panggul
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak terdeteksi
3) Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang berkepanjangan
4) Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas, mastitis dan saluran kencing
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
5) Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut jangan sampai terlalu basah.
R/ pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
6) Tindakan kolaborasi
• Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
• Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi ).
 Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran
dan tanda-tanda dalam batas normal)
Intervensi :
1) Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan.
2) Observasitanda-tandavital tiap 4 jam R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya dehidrasi secara dini.
3) Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi. R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara baik.
4) Observasi intake cairan dan output R/ Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan yang berlebihan.
5) Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan infus / transfuse
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock - Pemberian koagulantia dan uterotonika R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.
D. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
 Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
 Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
 Gas darah dalam batas normal
 Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
 Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
 Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
 Klien tidak merasa nyeri
 Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya

ASKEP POST PARTUM

I. Pengertian
Post partum adalah masa nifas mulai setelah partus selesai, dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu, akan tetapi seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan. (Prawiroraharjo, 2000). Post partum adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. (Rustam Mochtar, 1998). Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37 sampai 42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Sarwono, 2002).
II. Masa Post Partum
a) Immediate post partum period (24 jam pertama setelah melahirkan)
b) Early post partum period (hari ke 2 sampai ke 7 setelah melahirkan)
c) Late post partum (minggu ke 3 sampai ke 6 setelah melahirkan)
III. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah perubahan secara fisiologis yang terjadi pada ibu post partum :
a) Tanda-tanda vital
Suhu pada hari pertama (24 jam pertama) setelah melahirkan meningkat menjadi 380C sebagai akibat pemakaian tenaga saat melahirkan dehidrasi maupun karena terjadinya perubahan hormonal, bila diatas 380C dan selama dua hari dalam sepuluh hari pertama post partum perlu dipikirkan adanya infeksi saluran kemih,endometriosis dan sebagainya. Pembengkakan buah dada pada hari ke 2 atau 3 setelah melahirkan dapat menyebabkan kenaikan suhu atau tidak.
b) Adaptasi system kardiovaskuler
• Tekanan darah : tekanan darah stabil, penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg terjadi pada saat ibu berubah posisi, posisi duduk (ortostik hipertensi) kompensasi kardiovaskuler terhadap penurunan tekanan darah rongga panggul dalam pendarahan.
• Denyut nadi : berkisar antara 60-80 x/menit, mengigil dan berkeringat, pengeluaran cairan yang berlebihan dan sisa-sisa pembakaran melalui kulilt sering terjadi pada malam hari, dan hal ini membuat gangguan rasa nyaman.
• Komponen darah : hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit akan kembali ke keadaan semula sebelum melahirkan.
c) Adaptasi sistem perkemihan
Selama persalinan kandung kemih mengalami trauma yang dapat mengakibatkan edema dan menghilangkan sensitivitas terhadap tekanan cairan, biasanya ibu mengalami ketidakmampuan buang air kecil dalam dua hari pertama setelah melahirkan, penimbunan cairan dalam jaringan selama kehamilan dalam 12 jam setelah melahirkan.
d) Adaptasi system endokrin
Perubahan buah dada : umumnya produksi air susu ibu dimulai pada hari kedua-tiga post partum, buah dada tampak membesar, keras dan nyeri.
e) Adaptasi organ reproduksi
 Involusi uteri : involusi uteri terjadi setelah melahirkan dan berlangsung secara cepat setelah plasenta lahir, uterus berkontraksi dengan kuat, tinggi fundus uteri pertengahan antara pusat sympisis, setelah 12 jam persalinan fundus uteri turun sampai 1 cm di bawah pusat.
Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa involusi :
Involusi Tinggi fundus uteri Berat uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gr
Uri lahir 2 jari dibawah pusat 750 gr
1 minggu Pertengahan pusat sympisis 500 gr
2 minggu Tidak teraba diatas sympisis 350 gr
6 minggu Bertambah kecil 50 gr
8 minggu Sebesar normal 30 gr
 Lochea adalah secret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam nifas, pengeluaran lochia ini dibedakan tingkatannya :
 lochia rubra (hari pertama sampai ketiga post partum) yaitu berisi darah segar dan sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks caseosa, lanugo, dan mekonium, baunya normal (amis).
 Lochia sanguinnolenta (hari ketiga sampai hari ketujuh) berisi darah dan lendir, berwarna merah kuning.
 Lochia serosa (terjadi hari ke 7 s/d 14) caiaran tidak berdarah lagi,berwaarna kuning
 Lochia alba (setela 2 minggu pada hari 10-15)bersi selaput lendir leococyten dan kuman penyakit telah mati,berwarna kekuningan.
 Lochia purulent (terjadi infeksi,dan keluar cairan seperti nanah,dan berbau busuk)
 Lochia lokhiostatis (lochea yang tidak lancer keluar)
f) Perubahan servik
Setelah persalinan, bentuk servik agak menganga seperti corong berwarna kemerah kehitaman, konsistensinya kadang-kadang lunak terdapat perlukaan konsistensi lunak kadang-kadang terdapat perlukaan kecil setelah bayi lahir tangan masih bisa masuk rongga rahim,setelah dua jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah tujuh hari hanya dapat dilalui oleh 1 jari.
g) Perubahan vagina
Akibat trauma persalinan mengakibatkan adanya edema dan luka pada dinding vagina,rugae mendatar dan akan kembali pada minggu ketiga .
h) Perubahan pada perineum
Pada perineum tampak seperti ada goresan akibat regangan proses melahirkan .
i) Proses pada ligament
Ligamen fasia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu setelah melahirkan berangsur-angsur dan ciut dan pulih kembali.
j) After pain
Mules setelah melahirkan akibat proses kontraksi uterus sering menjadi multi para hal ini disebabkan karena cenderung relaksasi dan kontraksi secara periodic sehingga timbul rasa nyeri.
k) Perubahan berat badan
Setelah melahirkan berat badan menurun 4-5 kg,tergantung berat janin post partum pada periode early berat badan menurun 2,5kg dan akhir masa nifas berat badan kembali normal.
IV. Adaptasi Psikologis
Ada beberapa bagian yang terjadi dalam proses psikologis pada ibu post partum, adaptasi Psikologis menurut Reva Rubin adalah :
Adaptasi Ibu
a. fase taking in: Perhatian ibu terutama terhadap kebutuhan dirinya, mungkin pasif dan terganggu berlangsung 1-2 hari. Ibu tidak menginginkan kontak dengan bayinya tetapi memperhatikan. Dalam fase ini yang diperlukan adalah informasi tentang bayinya, ibu mengenang pengalaman melahirkan yang baru dialaminya. Untuk memulihkan
perlu memperoleh tidak dan makan yang adekuat.
b. Fase talking hold : ibu berusaha mandiri dan berinisiatif , perhatian terhadap kemampuan mengatasi fungsi tubuhnya misalnya kelancaran buang air besar, buang air kecil, melakukan berbagai aktivitas, jalan, duduk, ingin belajar tentang perawatan dirinya sendiri dan bayinya. Timbul rasa kurang percaya diri sehingga mudah mengatakan tidak mampu mengatakan perawatan ’’fase ini berlangsung kira-kira 10 hari’’.
c. Fase letting go : Ibu merasakan bahwa bayinya adalah terpisah dari
dirinya mendapat peran dan tanggung jawab baru,terjadi peningkatan
kemandirian dalam perawatan diri sendiri dan bayinya , penyesuaian
dalam hubungan keluarga termasuk bayi.
V. Perawatan Tindak Lanjut
a. Kebersihan diri
Kebersihan seluruh tubuh sangat penting dalam perawatan masa nifas ibu
post partum.
b. Beristirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan
kembali kepada kegiatan rumah tangga bisa perlahan-lahan serta untuk
tidur siang / beristirahat selagi bayu tidur. Kurang istirahat juga
mempengaruhipengurangan jumlah asi yang diproduksi memperlambat
involusi uterus dan emperbanyak pendarahan, depresi, dan ketida
kemampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri.
c. Gizi
Makanan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral,dan
vitamin yang cukup, minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (anjurkan ibu
untuk minum setiap kali menyusui)
d. Perawatan Payudara
Menjaga payudara tetap kering dan bersih, menggunakan BH yang
menyongkong payudara, apalagi putting susu lecet oleskan kolostrum / asi
yang keluar pada sekitar putting susu setiap kali menyusui , tetapi
dilakukan dimulai dari putting susu yang tidak lecet.
e. Hubungan Seksual
Ketika luka perineum telah sembuh dan pengeluaran lochea terhenti, yang
akan menunda hubungan suami istri sampai masa waktu tertentu, misalnya : setelah 40 hari / 6 minggu setelah persalinan , keputusan tergantung pada pasangan yang bersangkutan.
f. Keluarga Berencana
Meskipun beberapa metode KB mengandung resiko dan manfaat untuk
Mencegah kehamilan padahal ibu baru melahirkan.
g. Periksalah kembali pada minggu ke 6 / follow up.

Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
 Riwayat kehamilan dan persalinan
1. Lama persalinan
2. GPA
3. Proses persalinan
4. Type persalinan : forcep, vacuum, banyak darah yang keluar selama persalinan 400 cc, jumlah pembalut / duk yang digunakan setiap hari, pemeriksaan lab. Yaitu : haemoglobin
 Tanda – tanda vital
1. Tekanan darah agak rendah dan normal
2. Nadi
3. Suhu meningkat
4. Pernapasan : dimonitor setiap 4 jam, bila normal (dalam 24 jam)
 Kulit
1. Masker kehamilan
2. Striae
 Payudara
1. Besar, bentuk bengkak / tidak, warna kulit / areo
2. Papila menonjol / tidak, lecet, luka
3. Kebersihan
4. Colostrum, meningkat pada hari ke 2-3
 Abdomen dan fundus uteri
1. Palpasi : Ukur tinggi fundus uteri, kontraksi, posisi diastasis recti
2. Auskultrasi : Bising usus
3. Kaji :Keluhan mules-mules (hisroyen/his pengiring)
 Perineum / Rectum
1. Observasi : Jahitan, kaji dan keadaan luka episiotomi (REEDA)
2. Nyeri
3. Hemoroid
4. Lochea : Rubra, serosa dan alba
5. Aliran : Deras, sedang, agak banyak / sedikit
 Ekstermitas bawah
Keluhan rasa sakit, pembengkakan, suhu panas, kaji homan’s sign dan cemas.
 Istirahat / rasa nyaman
1. Lamanya
2. Sukar tidur, his pengiring, nyeri episiotomi, nyeri hemoroid, cemas.
 Kemampuan perawatan diri-bayi
 Tingkat energy
 Kebiasaan
 Status psikologis / emosional
1. Respon terhadap kelahiran
2. Respon terhadap keluarga
3. Persepsi terhadap keluarga
4. Perubahan psikologis
5. Adaptasi Keluarga
 Pengetahuan : Lakukan tindakan perawataan bayi, perawatan payudara dan KB
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengoes, Marlinn E. 2001
a. Nyeri berhubungan dengan episiotomi, nyeri setelah melahirkan
b. Gangguan proses laktasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu dan pengalaman sebelumnya
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
d. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan biokimia, fungsi regulator (missal : hipotensi ortostatik, dan eklamsia)
e. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan efek-efek hormonal
f. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan
g. Resiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan berhubungan dengan ketidaktepatan penggantian cairan
h. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot
i. Resiko tinggi terhadap koping individual tidak efektif berhubungan dengan ketidak efektifan system pendukung
j. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal dan psikologis; nyeri / ketidaknyamanan
k. Perubahan ikatan proses keluarga berhungan dengan transisi/peningkatan perkembangan anggota keluarga
C. Perencanaan dan Intervensi
 Diagnosa Keperawatan I : Nyeri berhubungan dengan ruptur,nyeri setelah melahirkan.
Tujuannya : Nyeri hilang / minimal
Kriteria hasil : Skala nyeri hilang , vital sigh batas normal,ekspresi wajah tampak rileks.
Intervensi :
• Berikan kantung es pada perineum
• Kaji rasa nyaman ( nyeri )
• Observasi TTV
• Ajarakan ibu dalam menggunakan tehnik relaksasi yang di pelajari
• Intervensi ibu untuk mengerutkan bokong bersamaan bila duduk lagi saat ambulasi terasa nyeri.
• Atur posisi tidur klien sesuai dengan derajat kenyamanan klien
• Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk pemberian analgesik.
 Diagnosa Keperawatan II : Gangguan proses laktasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu dan pengalaman sebelumnya.
Tujuan : ASI keluar lancer
Kriteria Hasil : ASI Keluar lancar , tidak ada bengkak
Intervensi :
• Kaji pengetahuan dan pengalaman klien tentang menyusui sebelumnya
• Tentukan system pendukung yang tersedia pada klien dan sikap pasangan
• Demontrasikan dan tinjau ulang trhnik-tehnik menyusui , perhatikan posisi bayi selama menyusui dan lamanya menyusui.
• Berikan informasi , verbal dan tertulis mengenai fisiologis dan kandungan menyusui.
• Anjurkan klien melihat putting setiap habis menyusui.
• Anjurkan penggunaankompres es sebelum menyusui dan latihan puting dengan memutar diantara ibu jari dan jari tengah.
• Anjurkan klien untuk mengeringkan putting susu dengan udara selama 20-30 menit setelah menyusui.
• Intruksikan klien untuk menghindari penggunaan pelindung putting kecuali secara khusus diindikasikan.
• Berikan pelindung puting payudara untuk klien menyusui dengan putting masuk dan datar.
• Kolaborasi , rujuk klien pada kelompok pendukung , misalnya Posyandu.
 Diagnosa Keperawatan III : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : tanda- tanda infeksi tidak terjadi
Inrevensi :
• Tinjau ulang kadar hemoglobin darah dan kehilangan darah pada waktu melahirkan.
• Catat tanda-tanda anemia
• Inspeksi ekstremitas bawah terhadap tanda-tanda tromboflebitis
• Berikan kompres panas lokal , tingkatkan tirah baring dengan menggunakan tungkai yang sakit.
• Berikan antikoagulan : evaluasi faktor-faktor koagulasi dan perhatikan tanda-tanda kegagalan pembekuan.
 Diagnosa Keperawatan IV : Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan efek-efek hormonal
Tujuan : Eliminasi urin normal
Kriteria Hasil : Berkemih tidak di bantu dalam 6-8 jam setelah melahirkan , pola eliminasi urin sesuai kebiasaan klien , karakteristik urin normal.
Intervensi :
• Kaji masukkan cairan dan keluaran urin terakhir.
• Palpasi kandung kemih , pantau tinggi fundus dan lokasi jumlah aliran lochea.
• Perhatikan adanya laserasi / episiotomy
• Anjurkan minum 6-8 gelas cairan perhari
• Kaji tanda-tanda ISK ( rasa terbakar pada saat berkemih, peningkatan frekuensi, urin kemih).
• Kolaborasi : katerterisasi dengan menggunakan kateter lurus
• Kolaborasi : dapatkan specimen urin bila klien mempunyai gejala ISK
• Kolaborasi : pantau hasil test laboratorium, seperti nitrogen urea darah dan urin 24 jam.
 Diagnosa Keperawatan V : Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot.
Tujuan : Pola eliminasi BAB normal
Kriteri Hasil : pola eliminasi BAB sesuai kebiasaan klien, karakteristik feses normal, melakukan kembali kebiasaan defekasi yang biasa optimal dalam 4 hari setelah kelahiran.
Intervensi :
• Auskultasi adanya bising usus, perhatikan kebiasaan pengosongan abnormal atau diagnosis Resti.
• Kaji terhadap adanya hemoroid.
• Berikan informasi diet yang tepat tentang pentingnya makanan kasar, peningkatan cairan dan upaya untuk membuet pola pengosongan normal.
• Anjurkan peningkatan tingkat aktivitas dan ambulasi sesuai toleransi.
• Kaji episiotomi, perhatikan adanya laserasi dan derajat keterlibatan jaringan.
• Kolaborasi : berikan laksatif, pelunak feses, supossitoria atau enema.